Auditorium Goethe Haus di kawasan Menteng Jakarta ramai betul tadi malam, Jumat (7/5). Saat mengisi buku tamu Peluncuran Buku Konde Penyair Han, waduh, rupanya sudah banyak betul yang datang. Nyonya buku emang terlambat setengah jam, itu juga udah upaya menggunakan ojek. Habis 15 ribu dari Balai Kartini di pojokan Kuningan . Maklum, Jakarta macet betul kala Jumat.
Saat masuk auditorium, ..ya ampun, penuh amat! Banyak yang enggak bisa duduk dan akhirnya memenuhi undakan tangga di kiri dan kanan gedung. Nyonya Buku ngebatin, siapa sih ya penyair Hanna Fransisca?
Nyonya Buku celingak celinguk. Gelap. Enggak ada yang bisa dikenal. Di panggung, ada Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Hanna Fransisca dan siapa ya satu orang yang jadi moderator itu.. -sorry, gag terlalu ngeh–. Mereka berempat duduk mengitari meja bundar. Diskusi puisi.
Jokpin — panggilan akrab Joko Pinurbo– bilang, puisi Hanna meski berdasarkan pengalaman hidupnya, tidak lantas terjebak pada sekadar curhat. “Dia bisa mengambil jarak, mampu mengolah dan mengendapkan emosinya. Jadi ia mampu menghidupkan daya nalarnya. Dalam posisi berjarak itu lah, Hanna bergulat dengan kata-kata,” tutur Jokpin.
Sapardi yang selama ini Nyonya Buku kenal dari puisi romantis Aku Ingin dan Hujan di Bulan Juni itu juga mengomentari puisi Hanna. “Membaca puisi Hanna membuat saya sadar bahwa kita ini hidup berbagai-bagi, sebagian bahkan hibrid.” Nah lo! -Nyonya Buku merasa tak mengerti maksudnya. ugh!
Masih dengan kebengongan, Nyonya Buku terus mengamati acara berlalu. Penyair Sitok Srengege membacakan tiga puisi Hanna dengan suara serak. “Baru pertamakali saya membacakan puisi dengan suara serak. Ini sudah disiapkan,” katanya ngeles.
Usai Sitok, Hanna maju. Dia membacakan puisi Air Mata Tanah Air. Diiringi petikan dan gesekan cello, puisi itu jadi menyayat-nyayat.
…Leluhurku telah lama mati. Ayahku mati terbakar. Ibuku mati trauma diperkosa. Kekasihku lari bunuh diri. Dan kini aku tegak berdiri lantang: “Barangkali sekarang aku telah memiliki tanah air!”
Mei 1998. Luka kerusuhan itu jadi terasa menguar ke udara di ruangan. Hanna memang perempuan Tionghoa. Dia lahir dengan nama Zhu Yong Xia–berarti senja abadi– dan bertumbuh di Singkawang. Hanna kecil cuma gadis pemalu yang gemetaran ketika disuruh ibugurunya membaca puisi di depan kelas. “Demi Tuhan, saya membenci hari itu,” kata Hanna.
Sejak kecil Hanna suka membaca. Terutama buku cerita. Kisah-kisah itu seperti eskapisme Hanna dari kehidupannya yang keras. Keluarga Hanna bukan keluarga berpunya. Sejak umur 7 tahun, Hanna sudah harus bisa menanak nasi. Dia pernah ketakutan luar biasa ketika beras yang akan ia tanak jatuh ke pasir sehingga harus dibersihkan butir demi butir.Hidup makin rumit. Hanna cuma bersekolah sampai SMP lantaran tabungan bertahun-tahun harus dibayarkan untuk pengobatan ibunya yang kecelekaan pada hari ujian terkahir SMP.
Hanna lantas bekerja. Dia pernah bekerja kepada orang Dayak untuk berdagang karet. Lantas Hanna merantau ke Jakarta. Pelan-pelan ia mampu berdiri tegak hingga peristiwa Mei 1998 meluluhlantakkan Jakrta sekaligus harapannya. Hanna menyaksikan ribuan orang serupa dirinya memadati bandara, menuju negeri-negeri yang jauh untuk menyelamatkan diri. “Saya menjerit lantaran kecintaan pada negeri telah mulai tumbuh sejak saya sadar saya berbeda. Politik yang membuat saya berbeda, tapi bukankah politik bisa berubah?” kata Hanna.
Duh.
Cerita tentang Hanna, buat Nyonya Buku, memang lebih menarik. Soalnya Nyonya Buku enggak terlalu mengerti puisi. Hehehe. Kadang-kadang saja bisa menyukai puisi, misalnya puisi Pablo Neruda dan Dorothy Parker.
Well, pada dunia puisi di Indonesia, Hanna ialah pendatang baru meski sejumlah karyanya kerap dimuat Kompas, Koran Tempo sampai Malang Post. Bisa jadi ia diterima dengan hangat. Nyonya Buku melihat banyak aktivis sastra muncul malam itu. Mulai dari Acep Zamzam Noor, Ratna Sarumpaet, Kurnia Effendi dan Agus Noor. Ada juga Linda Christanty. Buku barunya sudah bisa dibeli di toko-toko buku.
“Emang sudah beli Rahasia Selma?” tanya Linda.
“Iya dong. Udah,” kata Nyonya Buku.
Linda memasang muka lucu. Mukanya yang putih dan mungil, dengan poni di dahi itu jadi seperti anak-anak kegirangan ketika ia mengacungkan dua jempol, menarik senyum lebar sampai mata benar-benar tinggal segaris.
“Eh, entar aku bikin launchingnya. Hm.. kapan ya.. akhir bulan ini deh. Datang ya,” kata Linda. YAY!!!
Dan malam itu berakhir juga setelah dramatisasi puisi Di Depan Kubur Keluarga. Walikota Singkawang Hasan Karman dan Anggota DPRD Singkawang yang juga datang malam itu, senang dengan upaya Hanna mengenalkan Singkawang melalui puisi-puisinya. “Singkawang itu seperti Singapura tahun 60-an,” kata Hasan Karman
Hm.. sepertinya menarik sekali buat dikunjungi ya?
Menjelang jam sepuluh malam, Nyonya Buku pulang membawa serta buku Konde Penyair Han yang dibuat apik dan bersampul tebal(hard cover). Asyikkkk
FOTO: Hak cipta foto ini milik Media Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar